Sejarah Garuda Indonesia hingga kini masih jadi bahan perdebatan. Terutama tentang armada pertama maupun penerbangan perdananya. Dua hal yang terkait dengannya tak pernah lepas dari KLM dan Indonesia Airways. Banyak yang menyebut dulu namanya Indonesia Airways. Padahal kalo mau ditarik sejarah aslinya Garuda justru berasal dari KLM Inter Insulair Bedrijf (KLM IIB).
National Flag Carrier yang sekarang tengah dapat sorotan tajam. Gimana nggak, perusahaan punya tanggungan utang sangat besar. Kerugian terus bertambah dan Pandemi Covid-19 semakin memukul maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia tersebut. Lebih dari itu terancam bernasib sama seperti Swiss Air yang bangkrut dan digantikan Swiss International Airlines (national flag carrier baru Swiss).
Masalah yang dialami Garuda kebanyakan warisan dirut-dirut lama. Misalnya aja pengadaan pesawat jenis Bombardier CRJ 100 yang disebut terindikasi dugaan mark up. Bahkan kerap ditemukan adanya permainan dengan sejumlah lessor dalam menentukan harga sewa yang kelewat mahal. Sehingga efeknya harga tiket jadi nggak kompetitif. Akibat harga sewa di mark up hingga melebihi harga pasar.
Kebanyakan oknum di dalam manajemen memang masih bermental zona nyaman. Mentang-mentang BUMN, perusahaan milik negara. Kalo rugi gampang aja bisa diselamatin. Pikiran yang sama sekali nggak mencerminkan profesionalisme. Walaupun BUMN bukan berarti nggak berlaku aspek komersial. Rugi ya harus ada evaluasi. Salahnya dimana. Sekarang udah ketauan penyakitnya di harga sewa dan sejumlah rute nggak menghasilkan lantaran hanya untuk gagah-gagahan saja.
Padahal kalo mau dilihat sejarahnya national flag carrier di Indonesia itu penuh dengan perjuangan lho. Termasuk juga ini. Dengan kerugian besar, utang menumpuk, hingga cash flow hanya bisa bertahan beberapa bulan mesti dicari solusi yang tepat dan sangat hati-hati. Apalagi kalo kaitannya dengan sejarah panjang itu.
Benarkah Dulunya Indonesia Airways yang “Bergerilya” di Myanmar?
Berbicara tentang national flag carrier sejatinya ketika Indonesia merdeka udah mulai dipikirkan. Pemerintah saat itu membutuhkan pesawat untuk memperkuat nilai tawar di mata Internasional. Sebab belum banyak negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Terlebih Belanda mulai mengusik kemerdekaan itu dan coba-coba kembali menjajah Indonesia.
Bermula dari pidato Presiden Sukarno, 16 Juni 1948, yang intinya Pemerintah Republik Indonesia membutuhkan pesawat untuk pertahanan udara dan transportasi antar pulau. Pidato tersebut menggugah rakyat Aceh untuk menyumbang hingga akhirnya terkumpul dana yang bisa membeli 2 unit pesawat jenis Dakota.
Bulan Oktober 1948 satu unit Dakota datang dan diberi nomor registrasi RI-001. Sebagai wujud terima kasih kepada warga Aceh, pesawat itu diberi nama Seulawah yang artinya Gunung Emas. Pesawat itupun dioperasikan oleh AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Awalnya digunakan Bung Hatta kunjungan kerja ke Pulau Sumatera.
6 Desember 1948 Seulawah diterbangkan ke Calcuta India untuk maintenance dan penambahan tangki bahan bakar. Namun sayang pada saat hendak kembali ke Yogyakarta keburu terjadi Agresi Militer Belanda ke-2. Pesawat pun tertahan di India dan nggak bisa pulang. Karenanya pihak AURI lantas mengkomersialkan Seulawah. Untuk sementara waktu beroperasi di luar negeri.

Tanggal 26 Januari 1949, Indonesia Airways didirikan dan Seulawah mulai operasional perdana sebagai pesawat komersial dari Calcuta ke Rangoon. Pemerintah Burma (kini Myanmar) jadi penyewa pesawat itu untuk kepentingan sipil maupun militer. Meski demikian Seulawah tetap mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tercatat 2 kali berhasil tembus blokade Belanda dan mendarat di Aceh membawa persenjataan dan amunisi yang dibutuhkan untuk perjuangan.
27 Desember 1949 Kerajaan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia lewat perundingan KMB di Den Haag Belanda. Otomatis dengan demikian seluruh kegiatan Indonesia Airways di Burma dibubarkan dan prajurit AURI diwajibkan pulang dan kembali menjadi pasukan organik dengan nama Angkatan Udara Republik Indonesia Serikat (AURIS).
Sebagai bagian dari perundingan damai tersebut, seluruh asset milik Kerajaan Belanda diserahkan kepada Indonesia. Termasuk maskapai KLM Inter Insulair Bedriff (KLM-IIB), anak usaha KLM yang khusus melayani penerbangan domestik di wilayah Indonesia ketika diduduki Belanda. Atas keinginan Bung Karno, KLM-IIB dirubah menjadi NV Garuda Indonesia Airways (GIA) tanggal 28 Desember 1949.
Armada pertama menggunakan pesawat Douglas C-47A (DC-3) dengan nomor registrasi PK-DPD bekas KLM-IIB. Terbang dari Kemayoran ke Maguwo untuk menjemput Presiden Sukarno beserta keluarga dan rombongan.
Lantas bagaimana nasib Indonesia Airways? Pasca pengakuan kedaulatan maskapai ini resmi dibubarkan. Sementara pesawat Seulawah RI-001 dikembalikan ke AURI dan ditempatkan di Lapangan Udara Andir Bandung (sekarang Bandara Husein Sastranegara).
Fix Sejarahnya Memang Berasal dari KLM, Bukan Indonesia Airways
Dengan demikian bisa kita ambil kesimpulan bahwa sejarah Garuda Indonesia itu sebenarnya berasal dari Maskapai Tertua di Dunia bernama KLM, melalui anak usahanya KLM Inter Insulair Bedriff (KLM-IIB). Dimana pada masa pendudukan pasca Agresi Militer Belanda ke-1 tahun 1947, KLM-IIB melayani penerbangan domestik di Indonesia yang sedang diduduki. Sebelumnya rute domestik hanya dilayani oleh pesawat militer.
Selain penerbangan domestik, KLM-IIB juga melayani rute regional seperti Singapore dan British Malaya (sekarang Malaysia). Sebenarnya maskapai penerbangan domestik sebelumnya juga ada sebelum perang dunia kedua yakni KNILM. Namun maskapai ini beda dan bukan bagian dari KLM. Pasca Perang Dunia ke-2 banyak armada KNILM yang diambil alih militer Amerika. Lantas KLM mengambil alih maskapai tersebut dan menjadikannya KLM-IIB yang di kemudian hari jadi Garuda Indonesia.
Selama 4 tahun (1950-1954) NV Garuda Indonesia Airways merupakan perusahaan patungan dengan porsi kepemilikan 50% Indonesia dan 50% Belanda. Posisi Direktur dijabat oleh Orang Belanda sedangkan wakilnya dari Indonesia. Ketika awal beroperasi, Garuda juga banyak mempekerjakan Pilot dan Teknisi Warga Negara Belanda yang sengaja “dititipkan” KLM.
Keberadaan tenaga ahli dari Belanda itu tak lain dalam rangka transfer ilmu ke Indonesia. Mulai pertengahan 1954 Garuda Indonesia sepenuhnya menjadi milik Indonesia. Sejak saat itu banyak datangkan sejumlah armada baru. Bahkan di tahun 1958 mulai melayani penerbangan Haji ke Jeddah Saudi Arabia.
Meski bukan dari Indonesia Airways, tetap aja keberadaan National Flag Carrier ini penuh dengan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan penuh. Perundingan KMB merupakan puncak perjuangan Indonesia melalui jalur diplomatik. Hingga akhirnya Kerajaan Belanda bersedia mengakui kedaulatan Indonesia. Menyerahkan seluruh asset termasuk KLM-IIB.
Terlepas dari segala kontroversi yang ada, perjuangan Indonesia Airways pun tetap harus diapresiasi setinggi-tingginya. Terutama dalam mendukung perjuangan bersenjata dalam mempertahankan kemerdekaan.
Armada Pertama Garuda Indonesia Justru Warisan KLM IIB

Garuda Indonesia secara de facto resmi berdiri pada 28 Desember 1949. Penerbangan perdananya dalam bentuk inagural flight untuk menjemput Presiden Sukarno, Keluarga, beserta rombongan dari Bandara Maguwo Jogja menuju Bandara Kemayoran Jakarta. Dimana waktu itu ibukota dan pemerintahan Indonesia (RIS) mulai dikembalikan ke Jakarta setelah selama kurang lebih 3 tahun berada di Jogja bahkan sempat mengungsi ke Bukittinggi ketika terjadi Agresi Militer Belanda ke-2.
Pesawat yang digunakan untuk mengangkut kepala negara ialah jenis Dakota DC-3 nomor registrasi PK-DPD yang liverynya telah diganti Garuda Indonesia Airways. Pesawat ini sebelumnya digunakan oleh KLM Inter Insulair Berdijf (KLM IIB) melayani rute domestik. Nah kalo diliat dari sejarahnya inilah pesawat pertama Garuda. Jadi bukan Seulawah ya karena itu beda lagi, punya TNI AU.
Pasca pengakuan kedaulatan, Indonesia AIrways dibubarkan, armada RI 001 Seulawah dikembalikan ke AURI sebagai pesawat angkut dan logistik. Ditempatkan di Pangkalan Udara Andir Bandung (sekarang Bandara Husein Sastranegara). Para staf-nya juga dikembalikan ke kesatuan organik AURI, dimana ketika itu bernama AURIS sesuai dengan sistem negara serikat (RIS).

Balik lagi ke Garuda, selain PK-DPD, Garuda Indonesia Airways turut diperkuat pesawat jenis Dakota C47A (upgrade DC-3) dan Pesawat Amphibi jenis Catalina. Semua armada yang jadi bagian pada awal kelahiran national flag carrier merupakan bekas KLM-IIB.
Pada periode 1949-1954, Garuda Indonesia Airways NV merupakan perusahaan patungan antara Indonesia dan Belanda. Dimana Indonesia memiliki 50% saham dan 50% saham lainnya dimiliki Belanda melalui KLM. DI masa-masa awal juga masih banyak mempekerjakan kru dan pilot asal Belanda. Termasuk Direktur-nya sendiri orang Belanda. Baru setelah 1954 jadi milik Indonesia sepenuhnya.
Setelah dimiliki penuh oleh Indonesia, banyak armada-armada baru didatangkan. Bahkan di tahun 1956 mulai ambil bagian sebagai transportasi untuk angkutan jama’ah haji ke Mekkah melalui Bandara King Abdul Aziz Jeddah, Saudi Arabia. Waktu itu pesawat yang dipake ialah Convair 340. Nah dalam perkembangan berikutnya (1966) Garuda mendatangkan Convair 990 yang digadang-gadang sebagai pesawat jet paling canggih di masanya. Garuda adalah pengguna pertama di Asia Tenggara.

Banyak sekali armada pesawat didatangkan hingga saat ini. Baik menggunakan mekanisme sewa dan dibeli langsung. Namun sayangnya untuk armada yang di sewa (lease) itu kerap bermasalah terutama dalam hal pembiayaan. Hal itulah yang jadi penyakit kronis hingga perusahaan mengalami masalah keuangan akut seperti sekarang. Dari ratusan yang ada, Garuda cuma operasikan 1/2nya (sekitar 50-an pesawat termasuk 5 armada milik sendiri).
Semoga saja masalah pelik ini segera selesai seperti kita berharap Pandemi Covid-19 juga cepat selesai dan nggak berlarut-larut. Ide perunahan business model Garuda Indonesia yang lebih fokus ke Domestik patut diapresiasi. Karena itu salah satu langkah untuk menyelamatkan perusahaan juga. Rute Domestik berkontribusi 75% pendapatan usaha. Karenanya mesti dimaksimalkan lagi. Untuk internasional-nya pilih yang memang demand-nya ada bukan sekedar gagah-gagahan.
Leave a Reply