Mikrotrans Transjakarta, Revolusi Angkot di Ibukota

Mikrotrans Transjakarta walaupun belum banyak armada dan rutenya tapi paling nggak udah merubah moda transportasi angkot menjadi lebih baik. Jika sebelumnya angkot identik dengan image negatif seperti ngetem sembarangan, menurunkan penumpang di tengah jalan, hingga ugal-ugalan lantaran mengejar setoran. Sekarang udah beda banget. Berhenti di halte atau plang, mau penumpang cuma seorang pun tetap diantar sampe tujuan akhir.

Mobil Angkutan Perkotaan atau lebih kita kenal dengan sebutan angkot memang boleh dibilang masih menjadi backbone transportasi publik di Indonesia. Khususnya sebagai alat transportasi yang bisa mengakses hingga mendekati pemukiman penduduk. Keberadaannya udah sangat lama. Bahkan lebih dari itu angkot dulu pernah dituding sebagai penyebab matinya sejumlah jalur kereta api perintis. Dimana masyarakat lebih memilih moda transportasi yang satu ini ketimbang kereta api.

Untuk ukuran kota besar seperti Jakarta misalnya, angkot juga punya sejarah panjang. Bermula dari dihentikannya operasional Tram di pertengahan dekade 1950-an karena dianggap kurang cocok dengan perkembangan kota. Presiden Sukarno kala itu ingin agar Jakarta punya jaringan kereta bawah tanah (Metro) sebagaimana kota-kota lain seperti London, New York, hingga Tokyo. Namun dalam perjalanannya justru moda transportasi berbasis jalan raya yang akhirnya menggantikan Tram peninggalan Belanda itu.

Maka bus banyak bermunculan dan berseliweran di jalanan ibukota. Begitupula yang ukurannya lebih kecil seperti opelet. Nah opelet ini adalah pendahulunya angkot yang baru muncul pada tahun 1970-an. Di Jakarta angkot dulu dikenal dengan nama Mikrolet. Gampang mencirikannya yakni mobil berwarna biru muda dan biasanya merk Toyota Kijang. Walaupun ada juga merk lain seperti Mitsubishi Colt T120 misalnya. Adapun yang beroperasi di daerah seperti Bandung biasanya menggunakan jenis Suzuki Carry.

Dulu angkot sangat diandalkan oleh masyarakat. Bahkan rutenya nggak tanggung-tanggung lho. Bisa lintas provinsi. Misalnya di Jakarta, rute Mikrolet tembus hingga Bekasi yang notabene udah masuk Provinsi Jawa Barat. Sebaliknya angkot di wilayah pinggiran ada aja yang rutenya tembus hingga ibukota.

Mikrotrans Transjakarta, Nggak Lagi Kejar Setoran

Sayang dalam perkembangannya, pelayanan Mikrolet semakin lama semakin menurun. Armadanya yang usang dan dalam kondisi kurang layak beroperasi namun tetap dipaksa untuk dinas. Mirisnya lagi moda transportasi ini ternyata dimiliki oleh perorangan dan bukan badan hukum. Dimana pemiliknya berbeda-beda dan jumlah armadanya otomatis juga berbeda satu sama lain. Tergantung kemampuan finansial si pemilik (bandar). Kepemilikan oleh perorangan ini juga memunculkan fenomena supir tembak. Ditambah pemilik juga menerapkan sistem setoran dan punya target harian yang mesti disetorkan.

Sistem setoran dan ada target pula. Inilah yang membuat supir akhirnya berlomba-lomba untuk memenuhi target harian tersebut. Karena jelas banget sampe kurang apalagi nggak bawa uang otomatis nggak makan di hari itu. Inilah yang bikin supir jadi bertingkah seperti ngetem lama dan kadang sembarangan hanya untuk memenuhi kendaraan. Udah itu kebut-kebutan. Belum lagi kalo pemumpang tinggal 1-2 orang bisa diturunkan di tengah jalan. Karena perhitungan bensin dan lainnya. Setoran itu juga harus menutupi bensin.

Mikrotrans Transjakarta merubah image buruk angkot

Akhirnya Pemda DKI membuat kebijakan mengintegrasikan seluruh moda transportasi yang ada dengan Transjakarta Busway, MRT, dan LRT. Armada-armada jadul dan unsafety diganti dengan yang lebih baru. Hingga akhirnya Metro Mini dan Kopaja jadul udah sangat jarang terlihat di jalanan ibukota. Diganti dengan yang lebih layak dan nyaman. Begitupula untuk angkot. Meski armadanya masih sama, sistem manajemennya dirubah total. Kepemilikan nggak lagi perorangan melainkan langsung dibawah Transjakarta. Sistemnya pun nggak lagi kejar setoran tapi Rupiah per km. Ada atau nggak ada penumpang kru tetap dibayar.

Sebagian besar rute konvensional kini udah dilayani oleh Mikrotrans Transjakarta. Walaupun armadanya belum begitu banyak. Sekarang berhentinya udah nggak sembarangan lagi. Hanya mau stop di halte atau drop point yang ada rambu Transjakarta-nya. Ditambah lagi dengan metode pembayaran yang boleh dibilang revolusioner yakni kartu JakLingko. Sejenis e-money yang bisa digunakan moda transportasi yang ada di Jakarta seperti Transjakarta, MRTJ, dan LRT JakPro. JakLingko dikeluarkan oleh Bank DKI, BRI dan BNI. Top Up bisa via ATM atau di halte Transjakarta.

Kehadiran Mikrotrans mulai merubah mindset masyarakat terhadap angkot yang selama ini negatif. Memang belum banyak. Namun diharapkan ke depan akan bertambah lagi hingga menghapus keberadaan angkot jadul yang suka ngetem dan ugal-ugalan. Sehingga masyarakat nggak lagi berpikir 10x untuk pindah ke transportasi umum. Untuk mendukung kegiatan Pariwisata di ibukota, moda transportasi ini juga bisa diandalkan. Keberadaannya juga bisa jadi contoh pembenahan moda transportasi serupa di daerah. Mengingat apa yang ada di ibukota selalu jadi barometer buat daerah.


Mikrotrans dan Gojek
Mikrotrans dan Gojek, dua moda transportasi andalan warga ibukota. Awalnya Gojek jadi saingan berat angkot-angkot jadul yang “dimusuhi” warga lantaran image negatifnya. Namun sekarang warga jadi punya pilihan antara Mikrotrans atau kalo pengen lebih cepat nyampe bisa pilih Gojek dan Ojol lainnya


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *