Nasib Garuda Indonesia kini tengah dilanda persoalan besar terutama keuangan. Diketahui perusahaan punya tanggungan utang mencapai Rp 70T yang sebagian besarnya berasal dari Leasing armada pesawat. Dimana ada indikasi nilainya dilebihkan sehingga nilainya melebihi harga pasaran. Kementerian BUMN memberikan 4 solusi untuk national flag carrier tersebut. Namun opsi terakhir adalah likuidasi dimana nasibnya kelak akan seperti SwissAir. Akankah demikian?
Selama yang kita tahu Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan terbaik di Indonesia. Bahkan udah pernah dapat predikat bintang lima (five stars). Satu hal yang menakjubkan dan membanggakan untuk sebuah national flag carrier yang punya sejarah panjang sejak era kolonial. Dulu Garuda pernah mengalami masa-masa sulit pada saat krisis moneter 1998 bahkan nyaris bangkrut. Namun akhirnya Garuda tetap mengudara.
Pernah pula sejumlah insiden ringan hingga fatal menghiasi maskapai kebanggaan negeri. Terakhir adalah kejadian Flight 200 di Bandara Adi Sucipto Jogja melibatkan armada Boeing 737-400. Pasca Insiden tersebut Garuda dan seluruh maskapai Indonesia dilarang terbang ke Uni Eropa. Hingga akhirnya larangan itu dicabut dan Garuda bisa kembali ke Eropa menerbangi rute Jakarta-Amsterdam yang legendaris.
Hanya saja kebanggaan sebagai national Flag Carrier dengan 5 stars-nya harus luntur gegara ulah segelintir oknum dalam manajemen Garuda Indonesia. Di tahun 2019 kita semua pernah dibuat heboh kasus penyelundupan motor Harley Davidson dan Sepeda Brompton di armada terbaru Airbus A330-900 Neo.
Nyatanya semua barang selundupan itu diketahui punya Dirut Garuda kala itu, Ari Askara. Sebelumnya juga ada indikasi manipulasi laporan keuangan yang menyebut perusahaan mencatat keuntungan namun nyatanya mengalami rugi bersih. Belum lagi drama dengan Sriwijaya Air yang sempat jadi bagian dari Garuda Indonesia Group bersama Citilink.
Nasib Garuda Indonesia: Dihantam Coronavirus dan Lilitan Utang 70T
Pandemi Covid-19 yang mulai melanda Indonesia pada Maret 2020 dan belum ada tanda-tanda mereda hingga kini ternyata sangat memukul Garuda Indonesia. Minat masyarakat untuk traveling jadi minim. Belum lagi ada sejumlah syarat ketat yang harus dipenuhi traveler sehingga membuat traveler jadi malas gegara ribet mengurusi ini dan itu. Malah untuk ke luar negeri itu lebih ketat lagi. Tergantung destinasinya.
Praktis selama masa pandemi Garuda Indonesia sangat bergantung pada penerbangan Cargo dan repartisi WNI dari luar negeri. Untuk rute Internasional reguler seperti Jakarta-Tokyo misalnya masih tetap terbang namun itu tadi lebih pada alasan repartisi WNI dari luar negeri maupn Warga Negara Jepang yang hendak pulang ke negaranya.
Coronavirus bukan satu-satunya hantaman bagi airline kebanggaan Indonesia tersebut. Belakangan diketahui Garuda Indonesia punya beban utang yang nilainya mencapai 70T. Lebih dari itu Garuda Indonesia juga harus membayar utang sebesar 1T setiap bulannya. Kondisi lebih mengenaskan lagi, cash flow perusahaan berada pada posisi negatif. Hingga perusahaan menawarkan program pensiun dini bagi karyawannya sebagai salah satu langkah penyelamatan.
Utang 70T ternyata didapati dari sewa pesawat yang melibatkan pihak ke-3 (leasing). Harga sewa pesawat Garuda diketahui sangat mahal dan disebut-sebut termahal di dunia. Melebihi Singapore Airlines. Sewa armada dengan harga kelewat tinggi jelas sangat membebani keuangan perusahaan. Apalagi di masa pandemi minat traveling juga minim. Termasuk pesawat yang disewa nggak ngotak ialah Bombardier CRJ 100.
Dugaan ada permainan dengan pihak leasing mengemuka dari nilai-nilai kontrak kelewatan tersebut. Alhasil perusahaan bersama dengan kementerian terkait coba untuk renegosiasi dengan Leasing-nya. Memetakan perusahaan Leasing yang terlibat dalam pengadaan armada. Garuda bahkan telah mengembalikan 2 armada Boeing 737-800NG kepada leasing.
Akankah Senasib SwissAir?
![02 Pesawat Swiss International Air Lines pengganti SwissAir yang telah bangkrut](https://i0.wp.com/manglayang.id/wp-content/uploads/2021/06/02-Pesawat-Swiss-International-Air-Lines-pengganti-SwissAir-yang-telah-bangkrut.jpeg?ssl=1)
Program restrukturisasi utang dan renegosiasi dengan leasing kini tengah berjalan. Namun jalan masih panjang dan berliku untuk Garuda Indonesia. Belum lagi kalo sampe ada tuntutan hukum dari pihak Leasing dan sebagainya. Itu jelas akan sangat merepotkan. 4 langkah pemecahan memang telah diambil oleh kementerian BUMN. Dimana 2 opsi terakhir adalah yang paling berat: mendirikan maskapai baru dan likuidasi.
Jika satu dari kedua opsi itu diambil artinya Nasib Garuda Indonesia akan seperti SwissAir yang dinyatakan bangkrut pada tahun 2003. SwissAir adalah National Flag Carrier punya Swiss. Sama seperti Garuda juga punya sejarah panjang. Menjelang pergantian millenium perusahaan diketahui juga memiliki banyak utang. Ditambah dengan kecelakaan Flight 111 rute New York-Geneva di Samudra Atlantik yang menewaskan semua penumpang dan kru.
SwissAir akhirnya dinyatakan bangkrut pada tahun 2003. Swiss akhirnya mendirikan maskapai penerbangan baru bernama Swiss International Airlines. Maskapai ini berada di bawah Lufthansa Group bersama Austrian. Lufthansa Group sendiri berkedudukan di Jerman. Itu artinya Swiss International Airlines tak lagi bergantung pada pemerintah Swiss semisal mendapat talangan dana. Jadi murni dari operasional.
Nah Garuda Indonesia bisa aja kaya gitu kalo sampe opsi ke-3 dipilih. Perusahaan dinyatakan pailit dan akhirnya mendirikan airline baru (Garuda baru) yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kita sih berharap jangan sampe kaya SwissAir ya. Jangankan opsi ke-4 yang jadikan Indonesia nggak lagi punya National Flag Carrier. Pilih opsi ke-3 aja kayanya berat. Karena pastinya semua akan dimulai lagi dari Nol.
Leave a Reply