Terminal St Hall Bandung, terletak di sisi selatan Stasiun Bandung. Seharusnya bisa saling menopang dan terintegrasi dengan baik. Lebih dari itu membentuk semacam Transit Oriented Development (TOD). Sayangnya meski udah ada rute Trans Metro Bandung, hingga kini masih belum terintegrasi. Padahal punya potensi seperti Tokyo Central Station di Jepang.
Terminal ini identik dengan terminal angkot. Karena kebanyakan yang mangkal di sini angkot dan mobil elf. Itupun angkotnya nggak semua. Sebagian malah memilih mangkal di jalan akses Pasar Baru yang terhubung dengan JPO Jalan Stasiun Timur. Tujuannya nggak lain menarik penumpang dari Pasar Baru.
Untuk moda transportasi elf kalo kita cermati lagi rata-rata rutenya malah bersinggungan sama kereta api. Kebanyakan jurusan Limbangan, Leles hingga Malangbong di Garut. Bisa jadi salah satu faktor minimnya okupasi penumpang kereta api dari Bandung jurusan Priangan Timur. Sekalipun elf tersebut melewati Cicalengka, untungnya nggak sampe mengambil pangsa pasar KA Lokal Bandung Raya.
Rangkaian lokalan tersebut masih jadi pilihan utama commuter dari wilayah timur yang hendak ke Kota Bandung. Sehingga semacam elf gini nggak terlalu diminati. Ongkosnya juga 2 kali lipat dibanding KA Lokal Bandung Raya yang cuma Rp 5.000,00. Untuk jurusan Leles juga masih lebih mahal dibanding kereta yakni KA Lokal Bandung Raya jurusan Cibatu di Rp 7.000,00 dan Elok Cibatu yang tarifnya Rp 8.000,00.
Terminal St Hall Bandung, Rute Masih Tumpang Tindih
Sayangnya rute angkutan jalan raya di terminal ini masih tumpang tindih dengan kereta api. Harusnya mau angkot, bus, atau elf jadwal dan rutenya bisa bersinergi dengan kereta api. Baik lokalan maupun kereta api jarak jauh. Cuma yang ada di sini malah bersinggungan dan tumpang tindih.
Ambil contoh elf jurusan Malangbong yang lewat Leles itu bersinggungan dengan KA Lokal Bandung Raya dan Elok Cibatu jurusan Cibatu. Meski nggak sampe Malangbong. Untungnya tarif masih lebih mahal dari kereta sehingga nggak sampe mematikan kereta. Namun apabila ada rute kereta Priangan Timur yang berangkat dari Stasiun Bandung disitulah akan terjadi tumpang tindih.
Bisa jadi hal ini juga yang bikin okupasi KA Pangandaran (Bandung-Banjar PP) minim. Tarif yang mahal dan hanya bisa station to station membuatnya hanya dijadikan pilihan ke sekian. Rute elf bersinggungan dengan kereta juga menimbulkan kesan keberadaan “travel gelap” yang biasa menjajakan jasanya kepada calon penumpang yang kehabisan tiket kereta.
Harapan Baru dari Trans Metro Bandung (TMB)
Trans Metro Bandung (TMB) membuka rute Antapani – St Hall. Keberadaannya sedikit menolong terminal mini ini. Terutama untuk kebutuhan transportasi lanjutan penumpang kereta api. Sebetulnya Antapani lebih dekat dari Stasiun Kiaracondong. Sayangnya nggak ada rute angkot yang langsung dari sana. Sehingga warga Antapani pengguna kereta api bisa memanfaatkan TMB jurusan St Hall sebagai feeder.
Dibukanya rute TMB langsung dari St Hall memberi secercah harapan untuk ke depannya terminal ini bisa berkembang dan menjadi semacam Terminal Terpadu atau Transit Oriented Development (TOD). Namun satu hal yang masih mengganjal ialah keberadaan tanah sengketa di sisi barat Stasiun Bandung bagian selatan. Lahan tersebut masih dipersengketakan warga Kebon Jeruk dan PT. KAI – Pemkot.
Idealnya Transit Oriented Development (TOD) sifatnya menyeluruh. Meliputi seluruh area di sekitar Stasiun Bandung. Meski saat ini sisi sebelah timur (Jalan Stasiun Timur) udah dibenahi dan dipercantik.
Potensi Menjadikannya Seperti Tokyo Central Station
Kalo aja bisa digarap dengan serius, Stasiun Bandung punya potensi jadi seperti Tokyo Central Station atau Tokyo Station di Jepang. Tokyo Station bukan sekedar stasiun kereta. Lebih dari itu udah jadi semacam kota kecil di distrik Chiba. Sekaligus menjadi pusat integrasi antarmoda atau Transit Oriented Development (TOD).
Penumpang yang datang ke Tokyo baik itu naik Shinkansen maupun Limited Express punya banyak pilihan transportasi lanjutan. Baik yang masih berbasis rel maupun jalan raya. Untuk keretanya aja selain JR East juga ada Tokyo Metro yang bahkan bisa lebih cepat ke kawasan Harajuku. Walaupun bisa aja tetap naik JR East di Yamanote Line yang agak sedikit memakan waktu.
Rute-rute angkutan lanjutan udah diset sedemikian rupa agar bisa bersinergi dengan Shinkansen dan Limited Express. Nah ini yang seharusnya diterapkan untuk transportasi lanjutan di Terminal St Hall. Cuma lagi-lagi ada hambatan dimana angkot dan elf rata-rata masih dimiliki perorangan dengan sistem kejar setoran.
Solusi agar semua bisa terintegrasi ialah membangun semacam konsorsium seperti diterapkan di Transjakarta. Jadi angkot dan semisalnya masih ke dalam satu sistem. Nantinya akan menggunakan skema gaji dan Rupiah/km. Ada atau nggak ada penumpang tetap dapat uang. Untuk saat ini Terminal St Hall masih menjadi TOD yang belum terintegrasi.
Leave a Reply